Kamis, 21 Februari 2008

Botol Acar

Sejauh sepengingatanku, botol acar terletak di lantai bersebelahan dengan lemari pakaian di kamar tidur orang tuaku. Apabila papa hendak tidur, dia akan mengosongkan isi kantongnya dan menjatuhkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Ketika koin-koin itu jatuh ke dalam botol yang masih kosong, mereka akan berbunyi sangat nyaring. Kemudian bunyinya perlahan akan melemah ketika botol telah terisi. Aku selalu jongkok di lantai di depan botol acar itu dan mengagumi bulatan tembaga dan perak yang berkilauan ketika matahari masuk melalui jendela seperti sebuah harta karun. Pada saat botol itu sudah terisi penuh, papa akan duduk di meja dapur dan memutar koin-koin itu sebelum dibawa ke bank.
Membawa koin ke bank selalu merupakan pekerjaan besar. Tertumpuk rapi di sebuah kotak kecil, uang-uang itu diletakkan diantara kursi papa dan kursiku di truk tuanya.
Setiap saat selama kami menuju ke bank, papa akan memandang penuh harap kepadaku. "Koin-koin itu akan membawamu jauh dari pabrik textile ini, Nak. Kamu akan lebih baik dari pada aku. Kota dengan pabrik tua ini tidak akan bisa menahanmu." Dan juga, setiap saat ketika dia membawa kotak yang berisi uang logam tersebut melewati counter menuju teller, dia akan tersenyum dengan bangga.
"Ini adalah uang untuk biaya sekolah anakku. Dia tidak akan mengabdikan hidupnya di pabrik ini seperti aku."
Kamipun selalu merayakan setiap tabungan dengan membeli es krim. Aku selalu membeli rasa coklat dan papa selalu rasa vanilla. Ketika kasir di tempat es krim memberi kembalian kepada papa, dia akan menunjukkan kepadaku koin-koin yang ada di telapak tangannya. "Begitu kita tiba di rumah, kita akan mulai mengisi botol lagi."
Dia selalu membiarkanku menjatuhkan koin pertama kedalam botol yang kosong. Pada saat koin-koin itu bergemerincingan dengan gembiranya di botol, kamipun saling tersenyum. "Kamu akan kuliah dari setiap 1 sen, 5 sen, 10 sen dan 25 sen ini", katanya. "Tapi kamu pasti berkuliah. Saya dapat melihatnya." Tahun-tahun berganti dan aku menyelesaikan kuliah kemudian bekerja di kota lain. Suatu kali, ketika mengunjungi orang tuaku, aku memakai telepon yang ada di kamar mereka dan memperhatikan bahwa botol acar itu sudah tidak ada lagi. Botol itu sudah berubah fungsi ke fungsi dasarnya dan telah dipindahkan. Perasaanku tersumbat pada tenggorokanku pada saat aku melihat tempat kosong di sebelah lemari pakaian, tempat dimana botol acar itu selalu berada.
Papa adalah seorang yang sangat jarang bicara dan tidak pernah mengajariku mengenai harga kebulatan tekad, ketekunan dan keyakinan. Dengan botol acar inilah dia menunjukkan perbuatan-perbuatan baiknya itu, ini lebih berharga dibandingkan kata-kata yang muluk-muluk. Ketika aku menikah, aku menceritakan kepada isteriku mengenai botol acar yang tidak berharga yang mempunyai peranan penting saat aku masih muda. Dalam pikiranku, itu membuktikan lebih dari apapun betapa papa sangat mencintaiku. Tidak peduli bagaimana beratnya keadaan di rumah, papa terus menetapkan hati untuk menjatuhkan koin ke dalam botol. Bahkan ketika papa dipecat dari pabrik dan mama hanya menyajikan biji-bijian yang dikeringkan beberapa hari dalam seminggu, tidak pernah sesen pun diambil dari botol. Sebaliknya, saat papa memandangiku diseberang meja, dia menjadi semakin meyakinkan dirinya untuk menemukan jalan keluar bagiku.
"Ketika kamu sudah lulus kuliah Nak," dia berkata padaku dengan mata yang berkaca-kaca, "Kamu tidak akan pernah makan biji-bijian lagi.. kecuali kalau kamu memang menginginkannya".
Natal pertama setelah anak kami, Jessica lahir, kami menghabiskan liburan bersama orang tuaku. Setelah makan malam, mama dan papa duduk berdampingan di sofa, mengemong cucu pertama mereka. Jessica mulai merengek pelan dan Susan mengambilnya dari tangan papa. "Mungkin popoknya harus diganti." katanya, menggendong Jessica ke kamar orangtuaku untuk mengganti popok. Ketika Susan kembali ke ruang keluarga, ada pandangan aneh di matanya. Dia memberikan Jessica kembali kepada papa sebelum menarik tanganku dan membawaku ke kamar. "Lihat", dia berkata lirih, matanya menuntunku melihat ke lantai di sebelah lemari pakaian. Sangat menakjubkan, disana, seperti tidak pernah dipindahkan, berdiri botol acar tua, di dasarnya sudah dipenuhi dengan koin-koin. Aku mendekati botol acar tersebut, merogoh isi kantongku dan menarik segenggam penuh koin. Dengan penuh perasaan, kujatuhkan koin-koin itu kedalam botol acar.
Aku mengangkat pandangan dan melihat papa menggendong Jessica masuk perlahan ke dalam kamar. Kami beradu pandangan, dan aku tahu dia merasakan perasaan yang sama denganku. Tidak ada satupun dari kami yang mampu bicara. Ini sangat menyentuh hatiku...
Aku tahu ini juga menyentuh hatimu. Terkadang kita terlalu sibuk menambah daftar penderitaan kita sehingga lupa menghitung berkat-berkat kita. Penderitaan selalu membawa kita melihat ke belakang. Kekhawatiran mengintai di sekeliling kita. Iman selalu membawa kita kepada PENGHARAPAN.

Sang Pelindung Sungai




Takhyul adalah cara yang digunakan orang untuk merasionalisasikan hal yang tidak diketahui.


Pada jaman dahulu, orang percaya bahwa segala sesuatu memiliki pelindung. Kepercayaan tersebut sering dimanipulasi oleh orang jahat demi keuntungan mereka sendiri. Peristiwa yang menarik ini terjadi pada masa perang antar negara bagian.


Suatu ketika, seorang walikota yang baru saja dilantik bernama Shiman Bau tiba di kediamannya dan dengan ramah mengundang beberapa sesepuh ke kantornya. Dengan sopan ia meminta saran-saran mereka mengenai urusan-urusan setempat.


"Tuan, ada satu hal yang khususnya merisaukan kami", salah seorang sesepuh berucap dengan penuh kekhawatiran. "Setiap tahun, pemerintah kota mengharuskan kita untuk membayar pajak khusus untuk pernikahan pelindung sungai. Ribuan uang telah terkumpul, namun mereka menggunakan kurang dari 10% dari uang itu untuk praktek yang aneh tersebut. Sisanya dibagi diantara beberapa pejabat dan dukun. Yang lebih buruk lagi,beberapa bulan sebelum upacaranya, mereka menangkap beberapa gadis cantik sebagai "pengantin perempuan" bagi sang pelindung sungai. Pada hari 'pernikahan' itu, para pengantin perempuan yang malang itu didandani dan ditempatkan pada sebuah ranjang kayu di sungai. Mereka tenggelam sampai ke dasar dan tidak pernah muncul lagi. Bukan hanya itu,para dukun tersebut mengancam bahwa jika kita tidak menghormati adat ini,sang pelindung sungai akan marah dan air sungai akan meluap, sehingga banyak orang akan tenggelam dan ladang-ladang akan rusak. Para pejabat setempat berada di pihak para dukun itu, melindungi mereka. Apa yang dapat kita lakukan?".


"Adat yang menarik," kata sang walikota. "Saya terpesona. Saya ingin melihatnya sendiri. Lain kali, tolong saya diberitahu. Saya pribadi akan menghadiri upacara itu".


Para sesepuh itu terkejut. Setelah berbincang-bincang tentang beberapa masalah sepele lainnya yang juga penting, dengan gembira walikota itu mengantar mereka keluar dari kantornya.


Orang-orang tua itu bingung,mereka tidak tahu apakah mereka harus memuji atau mengutuk walikota ini,yang tampak sangat tulus mendengarkan keluhan namun tidak menawarkan jalan keluar, bahkan tidak memberikan ucapan yang menenangkan mereka.Akhirnya mereka setuju bahwa walikota baru ini menginginkan bagian darik euntungan itu dan tidak akan melakukan apa-apa untuk menghentikan adat tersebut.


Beberapa bulan kemudian walikota itu diundang sebagai tamu kehormatan pada festival pelindung sungai. Dengan sukacita ia menerimanya. Ribuan orang yang penasaran berkerumun di tepi sungai. Banyak pejabat pemerintah yang juga hadir.Sambil mengamati seorang dukun wanita berpakaian aneh, yang dikelilingi oleh beberapa asistennya, walikota itu dengan sopan membungkuk ke arahnya dan kemudian secara sambil lalu meneliti para pengantin perempuan yang ketakutan.Setelah inspeksi singkat ia berbalik dan berteriak kepada si dukun dalam nada jijik.


"Apakah kamu gila? Dimana matamu? Tidak bisakah kamu melihat bahwa gadis-gadis ini buruk rupa? Mempersembahkan gadis-gadis desa yang menjijikkan ini akan menjengkelkan pelindung sungai kita yang maha besar! Kita harus menunda upacara ini selama beberapa hari sampai kita dapat menemukan beberapa gadis cantik yang sesuai".


Karena belum pernah mendengar kecaman sekeras ini sebelumnya, semua orang terbengong dan terdiam seribu bahasa. Dengan menatap penuh ancaman, sang walikota meminta kepada dukun itu untuk memberitahu si pelindung sungai mengenai penundaan tersebut.Dengan segera para pengawal walikota menangkap si dukun dan meletakkannya di atas ranjang di sungai itu, yang langsung tenggelam.


Walikota itu menunggu selama beberapa menit, dan kemudian menyatakan"Sungguh seorang wanita yang beruntung! Sang pelindung sungai telah menjamunya dengan baik. Ia pasti mabuk dan kehilangan arahnya. Kita butuh seseorang untuk mencarinya." Ia lalu memerintahkan pengawalnya untuk memilih salah seorang pembantu senior dukun itu dan menceburkannya ke dalam sungai.


Setelah empat perlakuan serupa dilaksanakan, walikota itu menyatakan"Baiklah! Apa maunya mereka ini? Mengapa mereka tidak kembali? Mereka pasti adalah sekelompok pemabuk yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dipercaya. Mungkin seorang laki-laki dapat melakukan tugas ini dengan lebih baik." Ia kemudian memerintahkan para pelayannya yang berotot untuk melemparkan beberapa pejabat pemerintah kedalam air.Setelah kepala mereka masuk ke dalam air untuk yang terakhir kalinya,walikota itu kembali menatap penuh cela kepada para pejabat lainnya yangterlibat, yang tampak sangat ketakutan sehingga mereka segera berlutut dan memohon ampun.


Sambil tersenyum dingin, ia memeriksa mereka dengan teliti dan dengan tenang meninggalkan tempat itu.


Sejak hari itu, tidak ada seorang pun yang berani menyinggung tentang upacara itu lagi, dan masalah pajak itu dengan sendirinya terlupakan.Para warga setempat bergembira atas sikap cerdik walikota mereka.