Rabu, 18 Februari 2009

Kesetiaan Seekor Anjing

Di Kota Shibuya, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.

Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Kota Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.

Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.

Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko. Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.

Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.

Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan," saya akan menunggu tuan kembali."

" Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!" teriak pegawai kereta setengah berkelakar.

Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,"guukh!" Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.

Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.

Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia. Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.

Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.

Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.

Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.

Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.

Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.

Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.

Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.

Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiku saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiku pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.


Film ttg kisah hachiko dibuat d jepang tahun 1987 dgn judul "Hachiko Monagatari". Film ini banyak memperoleh penghargaan...

Kamis, 12 Februari 2009

Cinta tidak selalu harus berwujud "bunga"

Suami saya adalah seorang yang sederhana, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya,ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
"Mengapa?", tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan," jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Dan akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,"Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya :"Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?"
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."
Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ......
"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir.

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".

Senin, 09 Februari 2009

Pengabdian Ing Han sang Guru Buta

Sore itu, Ing Han (62) menjelaskan cara menggambar prisma segi lima kepada Maya, murid les privatnya yang duduk di kelas I SMA.

"Kita mulai dengan prinsip menggambar sudut kelipatan 18 derajat tanpa memakai busur derajat,"ujar Ing Han sambil menggambar segitiga di papan tulis.

Tangan Ing Han menggores garis tanpa sekalipun mengangkat spidol. Ia menempelkan empat potongan magnet di papan tulis sebagai patokan. Tangan kanan memegang spidol, tangan kirinya menyentuh empat magnet itu untuk memastikan posisi. Hanya sesekali ia bertanya kepada Maya, apakah tanda yang ia gambar sudah berada pada tempat yang tepat.

Ing Han adalah guru les privat Matematika dan Fisika. Banyaknya siswa SMP dan SMA yang datang dari berbagai penjuru Jakarta ke rumah Ing Han di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, menunjukkan ia piawai di bidangnya. Tak hanya mampu menjelaskan ilmu ukur ruang, ia juga terbiasa mengerjakan soal atau menurunkan rumus di luar kepala.

Bercakap-cakap dengan dia atau melihatnya beraksi mengajar anak-anak dari sekolah Pelita Harapan, Kanisius, St Ursula, BPK Penabur, atau Bina Bangsa, orang acap kali lupa ia seorang tunanetra. Selalu ada sesuatu yang ingin ia bagikan dengan orang lain. Ia bahkan menolak memakai kacamata untuk menutupi matanya yang kisut.

"Saya memang buta, lalu kenapa? Buat saya, ini sama dengan kalau orang lain yang kena sakit jantung atau ginjal, ya, saya kebagian buta," katanya bersemangat.

Kehilangan Orientasi waktu

Awal Oktober 1987 Ing Han yang ketika itu bekerja pada perusahaan Frisian Flag hendak mengambil koran di depan rumah. Pria yang sebelumnya tak pernah berkacamata ini terkejut karena ia tak bisa membaca koran. Mata kirinya tidak bisa melihat sama sekali, sedangkan mata kanan kabur berat. Ia sempat dirawat sebulan lebih di RS Mata Aini, Jakarta, sebelum dokter di Singapura menjatuhkan vonis. Saraf mata Ing Han rusak total.

Sampai di sini, dia tiba pada pertanyaan yang sering diteriakkan anak manusia kepada Tuhan dengan kepedihan dan ketidakmengertian.
Dua tahun Ing Han hanya duduk di kursi tamu rumahnya, mencari jawaban pertanyaan: "Tuhan, mengapa? Kenapa saya? Hidup saya lurus, apa salah saya? Saya tidak main perempuan, tidak pemabuk, kerja pun lurus-lurus saja," ujarnya.

Tak sedikit orang yang berkunjung dan memberinya nasihat. Kalimat seperti "Tuhan mencoba tak lebih dari kekuatan kita" berulang kali didengar Ing Han.

Begitu seringnya kalimat itu ia dengar, sampai menjadi ungkapan kosong yang saat itu dia tanggapi dengan apatis. "Ngomong, sih, gampang. Coba mereka yang merasakan... ," katanya.

Hal paling menyedihkan bagi Ing Han sebagai tunanetra adalah kehilangan orientasi waktu. Semua hal yang saat dia bisa melihat terasa sederhana, seperti matahari terbit dan tenggelam, tiada lagi. Padahal, ia ingin tahu waktu supaya bisa mendengarkan siaran radio yang menjadi satu-satunya penghubung dengan dunia luar.

Setiap hari ia dihadapkan pada pertanyaan: setelah sarapan, lalu apa? Ia tak bisa lagi bekerja di kantor, membaca buku, atau jalan-jalan. Setiap hari ia hanya duduk dan merasa marah, mengapa ia jadi tunanetra?

Namun, realita tidak bisa menunggu. Benturan pada kenyataan membuat Ing Han harus bangkit. Gugatannya kepada Tuhan menjadi tak penting lagi. Ia harus menerima keadaan.
"Saya harus terima. Itu saja. Percuma saya ngeributin Tuhan ada atau enggak. Terima saja. Yang jelas, besok saya dan istri harus makan," kata suami dari Sri Handayani Soeganda, seorang ibu rumah tangga ini.

Setelah itu, beberapa titik cerah mulai tampak. Tahun 1989, lewat rentetankebetulan, ia berhasil mendapatkan jam tangan khusus untuk tunanetra sehingga menyelesaikan masalahnya tentang orientasi waktu. Saat itulah ia menangis dan berdoa, ia percaya Tuhan itu ada.

Pantang menyerah

Semangatnya yang pantang menyerah membuat dia malah merasa bersyukur. Ing Han menyadari ia sebenarnya telah dipersiapkan menghadapi keadaannya kini.Dulu, ketika bersekolah di Salatiga, juara sekolah selalu di tangannya.
Profesi sang ayah sebagai guru membuat ia terbiasa hidup berkekurangan.
Kondisi ini membuat Ing Han harus menopang hidup dengan memberi les privat selama ia berkuliah di Institut Teknologi Bandung.

"Saya teringat masa itu. Biarpun menjadi tunanetra, saya bisa memberikan les privat. Saya masih ingat semua rumus-rumus pelajaran (Matematika dan Fisika) itu," katanya.
Ia mulai dari sekitar kompleks. Dengan sepeda, istrinya mengedarkan selebaran berisi jasa les privat di sekeliling kompleks perumahan mereka. Tiga murid pertama berhasil mereka dapatkan. Saat itu Ing Han belum berani mengakui kalau buta. Ia meminta murid membacakan soal, dengan alasan matanya rabun.
Hingga kini cara itu tetap dipakai walau Ing Han tidak lagi menutupi keadaan sebenarnya. Sehari-hari, kalau menemui masalah, ia langsung membongkar buku-buku lama dari masa dia SMP dan SMA, lalu meminta istrinya membacakan.

Untuk membantu pengajaran, dibuat tabel seperti Bilangan Berpangkat, bagan seperti Proyeksi serta Jarak dan Gradien, yang digantung di ruang tamu rumahnya, tempat dia mengajar.

Dari teman-temannya yang guru, ia memiliki koleksi soal-soal ujian terbaru.
Cerita Ing Han, dalam menangani murid yang penting adalah kesan pertama.
Pada pertemuan awal ia langsung "menjatuhkan" mental murid agar mereka percaya kepadanya dan tak berpikir "orang buta itu tahu apa?" Ing Han menyemangati diri dengan semboyan dari Napoleon Bonaparte, "Tak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup."
Menjadi tunanetra tak berarti kecemerlangan pikiran terbengkalai. Kemampuan itu justru membuat dia dapat mandiri. Ia juga bisa membantu orang lain, seperti guru-guru yang meneleponnya saat mereka kesulitan memecahkan soal hingga anak loper koran yang ia beri les privat dengan tarif diskon. Untuk mereka yang mengalami masalah kebutaan, beberapa kali Ing Han ikut acara berbagi untuk memberi semangat, baik lewat radio maupun pertemuan, di
Lembaga Daya Dharma yang berkantor di Gereja Katedral, Jakarta.

Meski tunanetra, Ing Han tetap sibuk. Ia memberi les privat kepada 17 siswa.. Bahkan, hari Minggu ia bekerja mulai dari pukul 08.00 sampai 18.00.
Dia pun kini tengah berusaha memecahkan problem matematika klasik, yakni membagi sudut apa pun menjadi tiga sama besar. Untuk itu, selain bertemu dengan seorang profesor di Tunghai Unversity, Taiwan, ia juga mengontak dua jurnal matematika internasional guna mengusulkan pemecahannya. ...

(Pada tgl 6 February 2009 saya melihat kesaksiannya di acara Kick Andy di Metro TV)